Konsep Normal-Abnormal dalam Masyarakat

I.PENDAHULUAN

        Dalam mendefinisikan kesehatan mental, sangat dipengaruhi oleh kultur dimana seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan dalam suatu budaya tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain, dan demikian pula sebaliknya (Sias, 2006). Menurut Pieper dan Uden (2006), kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang relistis terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya. Notosoedirjo dan Latipun (2005), mengatakan bahwa terdapat banyak cara dalam mendefenisikan kesehatan mental (mental hygene) yaitu: (1) karena tidak mengalami gangguan mental, (2) tidak jatuh sakit akibat stessor, (3) sesuai dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya, dan (4) tumbuh dan berkembang secara positif.
        Perilaku Abnormal adalah kondisi emosional seperti kecemasan dan depresi yang tidak sesuai dengan situasinya. Perilaku Abnormal terdiri dari dua kata yaitu Perilaku dan Abnormal, Perilaku menurut kamus bahasa Indonesia adalah tingkah laku seorang manusia/ sikap seorang manusia, sedangkan Abnormal dapat didefinisikan sebagai hal yang jarang terjadi (seperti kidal) atau penyimpangan dari kondisi rata-rata (seperti tinggi badan yang ekstrem).Abnormalitas umumnya ditentukan berdasarkan munculnya beberapa karakteristik sekaligus dan definisi terbaik untuk ini menggunakan beberapa kareakteristik Kejarangan statistik, Pelanggaran norma, distress pribadi, ketidakmampuan atau disfungi, dan repons yang tidak diharapkan (unexpectedness).
Sumber lain mengatakan Perilaku abnormal adalah perilaku yang menyimpang dari norma sosial. Karena setiap masyarakat mempunyai patokan atau norma tertentu, untuk perilaku yang sesuai dengan norma maka dapat diterima, sedangkan perilaku yang menyimpang secara mencolok dari norma ini dianggap abnormal. sehingga perilaku yang dianggap normal oleh suatu masyarakat mungkin dianggap tidak normal oleh masyarakat lain, jadi gagasan tentang kenormalan atau keabnormalan berbeda dari satu masyarakat lain dari waktu ke waktu dalam masyarakat yang sama.
        Perilaku Abnormal yang terjadi pada kondisi emosional biasa terjadi kapan saja dalam kehidupan manusia, Mereka kadang-kadang bisa terjadi dan sudah terjadi dalam kehidupan orang lain.Sebuah masalah emosional dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan secara mental dan fisik.
        Kesehatan Mental di Indonesia Dari semua pengertian tentang kesehatan, masyarakat masih banyak yang secara sadar tidak sadar lebih mengacu pada kesehatan fisik, dan cenderung sedikit menyampingkan masalah kesehatan mental. Tidak bisa disalahkan, sebab yang lebih dapat terlihat secara kasat mata dan lebih dapat diukur adalah kesehatan fisik. Akan tetapi hal tersebut tidak membuat kesehatan mental menjadi tidak penting. 


II.TEORI

Normal adalah keadaan sehat (tidak patologis) dalam hal fungsi keseluruhan. Sedangkan Abnormal adalah menyimpang dari yang normal (tidak biasa terjadi).(Maramis, 1999)



             Perilaku Normal adalah perilaku yang adekuat (serasi dan tepat) yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya. Sedangkan Perilaku Pribadi Abnormal adalah sikap hidup yang sesuai dengan pola kelompok masyarakat tempat seseorang berada sehingga tercapai suatu relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan. (Kartini Kartono, 1989)



            Perilaku Abnormal adalah suatu perilaku yang berbeda, tidak mengikuti peraturan yang berlaku, tidak pantas, mengganggu dan tidak dapat dimengerti melalui kriteria yang biasa.



Normal menurut Stern (1964)
Stern mengusulkan untuk memperhatikan 4 aspek, yaitu :
1.Daya Integrasi
2.Ada tidaknya simtom gangguan
3.Kriteria Psikoanalisis
4.Determinan Sosio-Kultural

Daya integrasi adalah fungsi ego dalam mempersatukan, mengkoordinasi kegiatan ego kedalam maupun keluar diri. Makin terkoordinasi makin baik. Ada atau tidaknya simtom atau gejala gangguan ditinjau dari segi praktis, merupakan pegangan yang paling jelas dalam mengevaluasi kesehatan jiwa secara kulitatif. Kriteria psikonalisa memperhatikan dua hal untuk dipakai sebagai patokan dari kesehatan jiwa, yaitu tingkat kesadaran dan jalannya perkembangan psikoseksual. Determinan-determinan sosial dan kultural,lingkungan seringkali memegang peranan besar dalam penilaian suatu gejala sebagai normal atau tidak. Dalam gejala patologis, padahal pada  seorang suku Indian di Amerika gejla itu dianggp normal atau bahkan mungkin dinggap suci. Demikian juga apa yang dinamakan “hysterical reaction.”

·         Normal Menurut Ulmann dan Krasner (1980)
Menurut Ulmann dan Krasner tingkah laku manusia tidak dapat dilihat secara dikotomis sebagai normal atau abnormal, tetapi harus dilihat dalam hubungannya dengan suatu prinsip, dimana suatutingkah laku merupakan hasil dari keadaan masa lalu dan masakini. Ia mengemukakan kesulitan-kesulitan mendefinisikan abormalitas secara statistik yakni untuk menyeleksi variabel-variabel abnormalitas mana yang harus diukur, dan hal-hal yang penting untuk dijadikan suatu kriteria mengenai abnormalitas tingkah laku.
·         Normal Menurut Gladstone (1978)
William Gladstone dalam bukunya Test Your Own Mental Health menguraikan pegangan-pegangan praktis untuk menilai kesehatan mental diri sendiri. Ia mengusulkan untuk menilai 7 aspek yang merupakan tingkah laku penyesuaian diri (adaptibility) yaitu:
                 1.                   Ketegangan
                 2.                   Suasana hati
                 3.                   Pemikiran
                 4.                   Kegiatan (aktivitas)
                 5.                   Organisasi diri
                 6.                   hubungan antarmanusia

                 7.                   Keadaan fisik

Masing-masing aspek memiliki kriteria tingkah laku yang dijadikan pegangan penilaian ‘normal’-nya penyesuaian. Gladstone membaginya ke dalam 5 tingkatan, yaitu :
1.                 Penyesuaian diri yang normal
2.                 Penyesuaian ‘darurat’
3.                 Penyesuaian ‘neurotik’ (neurotic coping style)
4.                 Kepribadian atau karakter neurotik
5.                 Gangguan berat yang masing-masing dapat diberi skor antara 10-50

III.Analisis

Landa berusia 25 tahun telah menjalani hubungan perkawinan selama hampir 2 tahun. Landa selalu merasa ketakutan dan kekhawatiran yang mendalam bila bersama suaminya. Hal ini tidak terlalu dirasakannya ketika ia bersama orang lain. Suami subjek merupakan figur suami yang otoriter dan overprotekstif. Subjek selalu merasa disalahkan atas setiap hal yang dilakukannya. Subjek merasa tidak berani memberikan pendapat kepada suaminya. Subjek merasa tidak bahagia dengan kehidupan perkawinannya tersebut dan berniat untuk segera bercerai dengannya tetapi subjek tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya.
Dari contoh kasus di atas kita dapat mengidentifikasi bahwa Landa termasuk dalam perilaku abnormal sebab Landa selalu merasa ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan atau mendalam terhadap suaminya, tetapi tidak terlalu dirasakannya dengan orang lain. Dalam hal ini permasalahan yang dihadapi oleh Landa masuk pada kriteria abnormalitas yaitu tekanan batin yang telah dipaparkan sebelumnya. Subjek merasa tertekan dengan suami yang mempunyai sikap otoriter dan overprotekstif, sehingga membuat subjek tidak berani untuk mengungkapkan pendapatnya, subjek selalu merasa apa yang ia lakukan selalu salah. Hal ini jelas tidak tepat, karena seharusnya subjek harus berani untuk memberikan pendapat terlebih pada suaminya sendiri karena pada dasarnya setiap pendapat yang kita sampaikan tidak ada yang salah. Selain itu, kriteria yang berikutnya yaitu Gejala “salah suai” (maladjusment) yang di sebabkan oleh ketidakefektifan individu dalam menghadapi, menangani atau melaksanakan tuntutan dari lingkungan fisik. Ketidakefektifan individu dalam menghadapi dan menangani suaminya yang mempunyai sikap otoriter dan overprotekstif. Sehingga subjek merasa tidak bahagia dalam kehidupan perkawinannya dan berniat untuk segera bercerai. Dalam hal ini, seharusnya subjek dapat lebih menyesuaikan diri dengan sikap suaminya yang otoriter dan overprotekstif karena sebelum menikah subjek seharusnya dapat melihat atau mengetahui mengenai sikap suaminya walaupun mungkin tidak banyak dan subjek tau apa yang akan dilakukannya setelah menikah dengan sikap suaminya tersebut, sehingga dapat menghadapi ataupun menangani masalah yang terjadi dalam perkawinannya.


IV.DAFTAR PUSTAKA

Ardani Ardi Tristiadi, M. Si. Psi. 2011. “Psikologi Abnormal”. Bandung: Lubuk Agung
Slamet, Suprapti. Markam, Sumarmo. 2008. Psikologi Klinis. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia

https://atikahnn.wordpress.com/2013/01/04/psikologi-abnormal-dan-ilmu-yang-berpautan/ (di ambil tanggal 24 maret 2016.pukul 20.23)

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / U-Blog

Template by : Hikman Tartila / powered by :U-Blog